Aji - Aji

Saya teringat pada masa di mana saya masih berusia balita, mungkin juga saat saya masih dalam kandungan Ibu tercinta. Telinga atau batin ini sudah mendengar suara orang mengaji atau lantunan ayat Al-Quran yang tersambung dari getaran yang dibisikan dari suara Ayah dan suara hati zikir Ibu saya sendiri.

Saat kecil, hal yang sering dan tak pernah bosan dilontarkan oleh kedua orang tua kepada anak-anaknya adalah belajar mengaji. Setiap sore sebelum Magrib kita sudah dipersiapkan untuk menyambut malam, waktu untuk beristirahat di mana semua keluarga berkumpul dari kesibukan pekerjaan siang hari, saat bersiap pergi ke masjid untuk melaksanakan salat berjamaah dan langsung dilanjutkan belajar mengaji, terkadang dilakukan di rumah kepada orang tua sendiri atau pergi ke tempat guru mengaji bersama teman-teman. 

Banyak tempat yang saya ingat dalam kurun waktu 10 tahun masa kanak-kanak saya untuk mengaji. Saya mengingatnya. Ada yang saya lakukan pada Minggu pagi, ada juga setelah Asar, dan yang lebih sering setelah Magrib menuju Isya. 

Aktivitas mengaji di lingkungan rumah saya alami sampai pada umur mencapai 14 tahun, lalu saya dikirim oleh kedua orang tua untuk berpisah dari rumah, pergi jauh dari kediaman yang nyaman bersama keluarga dan para sahabat. 

Saya dikirim ke pondok pesantren untuk dipasangi “rem depan”, jika memang saya ini diibaratkan sepeda. Saya sangat mengingat kata yang terucap dari bibir manis Ibu saya: “Mesantren nya, Mamah mah hayang anak anak mamah pada boga rem”. 

Jika kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, pesan itu akan berbunyi mungkin seperti ini “Pesantren ya, Nak, Mama ingin anak-anak Mama memiliki rem (kontrol dalam kehidupan. Ada yang menjaga, yaitu ilmu).

Itulah, mengaji dari sebelum ada sampai sekarang ini masih menjadi ritual bahkan menjadi makanan rohani favorit. Hal yang terpenting bagi hidup saya, karena bagaimanapun sampai kapan pun kita akan terus belajar dalam dan untuk kehidupan. 

Saya mengingat juga bagaimana pesan Abuya kepada santrinya, beliau mengatakan bahwa: “Belajarlah dari buayan sampai kau masuk kuburan.” 

Itu pesan bahwa kita di dunia hidup selalu mencari dan memahami, selalu iqra, membaca dan berpikir-memikir. Mensyukuri anugerah terbesar yang diberikan Allah kepada kita sebagai manusia. Akal budi agar menjadi manusia yang baik bermanfaat berada di jalan yang lurus seperti yang kita mohonkan dalam sslat kita minimal 17 kali dalam satu hari, menyembah hanya kepada Allah Swt. 

Saya ingin menuliskan sedikit mengenai makna mengaji. Istilah mengaji yang sering kita dengar dan diidentikan kepada agama Islam dalam menggali ilmu agama ternyata bukan bahasa arab atau bahasa yang bisa ditemukan dalam kitab Al-Quran. Justru mengaji berasal akar katanya Aji, yang dalam bahasa Jawa artinya merupakan kemuliaan.  bisa juga diartikan kehebatan, kebahagiaan, atau kesempurnaan, namun semua itu terhimpun menjadi mulia atau derajat yang tinggi, saya menyimpulkannya rida Allah kepada makhluk pilihan-Nya. 

Sudah barang tentu seseorang yang mencari ilmu apalagi ilmu akhirat yang membawanya untuk terus mendekat dan mengenal Tuhan penciptanya pastilah itu akan membawa pada tingkat kedudukan yang tinggi juga memberikan kemuliaan untuk jiwa dan raga. 

kenapa ketinggian ilmu itu mampu membawa manusia menjadi mulia dan tinggi derajatnya di kalangan makhluk lain, karena ilmu dibawa oleh malaikat bagi para pencari ilmu (bagi para pengkaji) bahasa lain saya menyebutkan orang-orang yang mengaji selalu berinteraksi dengan malaikat Allah yang setiap saat mengirimkan ilmu-ilmu Allah kepada hamba-Nya. Tidakkah itu anugerah dan kesempatan yang luar biasa untuk kita yang mau berpikir?

Sering saya mendengar istilah lain seperti aji-aji atau bacaan-bacaan. Saya ingat almarhum Ayah saya pernah memberikan aji-aji kepada saya 17 tahun lalu mungkin. Saat Ayah saya melihat anak laki-lakinya mulai mampu mandiri dan banyak pergi ke berbagai kota sendirian, Ayah saya memberikan aji-aji. “Heru, pokona mun rek kamana bae ulah poho maca  bimillah 21 kali.” (Heru harus ingat, ya, pokoknya kalau kamu mau ke mana saja, jangan lupa membaca bismillahirahmanirahim 21 kali saat di depan rumah atau di dalam kendaraan).

Saya ingat dulu awal-awal saya melakukannya di depan pintu rumah, atau kadang saat saya menaikkan sepeda saya ke atas motor ojek untuk ke tempat bus sebelum menuju ke Jakarta, saya membacanya di belakang mamang ojek sambil memegang sepeda yang saya angkat roda belakangnya ke atas, atau pada dini hari bisa saya pergi ke Jakarta jam 3 malam sambil mengayuh sepeda saya di kegelapan dan keheningan saya membacanya sambil menghitungnya dalam jari-jari saya yang 10 ini dari kanan sampai kiri saya ulangi dua kali dan saya tambah 1 kali yang benar-benar husyuk, menghentakan sifat rahman rahim-Nya Allah, yang telah diberikan kepada kita agar menjadi kekuatan.

Pernah juga saya bicarakan ini kepada sahabat saya, dan dia menanyakan kenapa harus 21 kali, saya pun sedikit bingung menjawabnya karena saya tak pernah menanyakan hal serupa kepada Ayah saya kenapa harus 21 kali?

Saya merasa dalam batin jika saya menanyakan hal serupa itu hal yang melawan perintah orang tua kita seperti tak sopan, saya cukup meyakininya juga mengamalkannya saja. Dewasa ini saya sedikit paham urutan 21 kali, 40 kali, 3 kali atau angka angka itu, namun sangat panjang jika kita uraikan di sini sekarang. Sebut saja mungkin kita akan merasakan bismillah itu di angka ke-21.  

Secara psikologi kejiwaan, hal itu akan mengubah kebiasaan dan tersimpan dalam alam bawah sadar dan jiwa yang akan merekam dan menjadikan bukan hanya terucap di bibir namun akan masuk ke dalam badan, hati bahkan ruh akan mengerti makna yang kita bacakan itu. 

Dalam Al-Quran banyak disebutkan kisah-kisah yang memiliki rahasia angka 40 seperti Nabi musa yang berpuasa selama 40 hari, Nabi Zakaria tak berbicara selama 3hari, juga Nabi Muhammad Saw. yang di beri wahyu saat usia 40 tahun. 

Banyak rahasia-rahasia yang tak mungkin bisa dimengerti oleh kita yang masih berusia  muda ini, masih banyak pengalaman dan perjalanan yang harus kita tempuh untuk bisa mendapatkan kearifan atau kebijaksanaan dalam ilmu.  

Sebagai warga negara indonesia, mengaji sering kita kaitkan adalah maksud mengaji Al-Quran, yang akhirnya untuk beberapa kalangan yang merasa belum bisa atau susah bahkan tak ada guru mungkin merasa belum saatnya, akhirnya menjadi hal yang disepelekan atau ditunda tunda. Padahal mengaji itu cakupan maksudnya luas. Contohnya mengaji biologi, mengaji olahraga, mengaji matematika, fisika dan lainnya yang akhirnya juga akan memuncak bertuju kepada kemahaan-Nya, yang berakhir pada kesadaran bahwa ada Sang Pencipta yang mengurusi langit dan bumi, juga makhluk-Nya.

Akar kata aji ini menjadi dikenal sebagai mengaji, ada juga aji-aji bahkan ajian, mungkin juga menjadi ajimat yang kita paham sebagai jimat. Jika dahulu kita mendengar ajian meringankan badan dan sebagainya sampai saya dapat menyimpulkan sebagai humor kepada sahabat saya, karena dia selalu menggunakan sepeda untuk menarik perhatian wanita atau orang lain. Sahabat saya merasa dirinya bukan siapa-siapa jika tanpa sepeda BMX-nya. Dia merasa menjadi apa dan siapa saat mengendarai sepedanya dan melakukan triknya seperti menjadikan dirinya lebih keren hebat, bahasa agamanya mulia. Mungkin seumpama itulah ajian putaran yang ia miliki, sepedalah jimat yang ia bawa dalam hidupnya. 

Saya menyimpulkan sama juga, mungkin sepeda menjadi jimat saya yang menjadikan syariat bagi saya dari Allah untuk menyampaikan rezeki-Nya, kepada hamba-Nya ini dengan melakukan ajian atau trik-trik yang saya lakukan saat performing di depan ribuan orang setiap pertunjukan.

Saya jadi ingin menceritakan ritual yang biasa saya lakukan sesaat sebelum pertunjukan dimulai. Biasanya saya duduk bersila di wings kanan panggung teater. Saat intro dimulai, di samping saya sepeda sudah disiapkan untuk diajak berdansa bersama. Saya biasanya memulai dengan menyebut nama Allah Swt. untuk berlindung dari godaan setan. “Audzubillah himinasyaitonirrajim”. Dan saya ucapkan 2 kalimat syahadat, tanda saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Nabi

Muhamad adalah utusan Allah yang selalu saya cintai dan ikuti, dan saya tambahkan salawat kepada Nabi pemimpin akhir zaman, pemimpin paling mulia di dunia.

Bagaimanapun saya mengingat kita semua mampu berada di dunia dan menikmati segala anugerah-Nya ini bahkan menemukan ilmu-ilmu semua berkat pengorbanan dan perjalanan yang diperjuangkan Nabi Muhammad Saw. Itulah, saya mengirimkan salawat agar saya terus tersambung tali cinta antara kita. Saya berharap terus terbawa pada jalan kebaikan.

Barulah setelah itu saya memanjatkan lafaz Bismillahirrahmanirrahim sebanyak 21 kali seraya saya merasa semua adalah atas rahman Allah dan rahim Allah yang kita terima ini, raga yang sehat dan jiwa yang tenang adalah manifestasi rahman-rahim yang Allah berikan kepada kita. 

Kemudian saya mencoba juga memberikan rahman-rahim yang saya coba ambil dari sifat Allah dan saya berikan kepada penonton dan untuk menghilangkan rasa gundah dan was-was juga grogi. Karena saya mencoba dan merasa saya hanya memberikan apa yang Allah berikan berharap semua pertunjukan akan berjalan baik, mulus, dan bagus.

Akhirnya penonton pun dapat menangkap rahman-rahim yang saya berikan dari penampilan yang saya tampilkan melalu peragaan sepeda, itulah transfer frekuensi yang saya ambil dan berikan. Sama seperti putaran trik yang saya lakukan. Frekuensi itu berputar-putar di alam semesta ini.  Saya berikan frekuensi keindahan dalam bersepeda, semangat dan ketulusan yang itu saya berharap akan tersampaikan.

Selesai itu biasanya saya tambahkan minimal 3 kali salawat nariah, ini juga nasihat dari almarhum Ayah saya. Agar kita mampu terhidar dari kesulitan, keluar dari kesusahan dan mendapatkan kecukupan apa yang kita inginkan.  Semua beban yang ada dalam diri saya,  saya coba serahkan kepada Allah melalui syafaat Nabi Muhammad Saw. berharap semua beban menghilang dan tubuh serta jiwa ini menjadi ringan bukan hanya raga namun jiwa pun ringan dari pikiran-pikiran yang memberatkan. 

Pada akhirnya, sambil saya menegakkan sepeda, saya bersiap untuk maju sambil mendengar tanda panggilan suara Indonesia itu tanda saya maju. “All the way from Indonesia Heru Anwari!” Sambil maju ke depan panggung, itu saya membaca kalimat: “La hawla wa la quwwata illa Billah” lalu disambungkan “Hasbunallah Wanikmal Wakil Nikmal Maula Wanikman Nasir.”

Saya sadar semua tiada daya dan upaya selain semua dari Allah dan saya hanya mewakilkan semua yang diberikan Allah kepada hamba-Nya. Saya mewakilkan segala kekuatan dan apa pun hanya kepada  Allah. 

Mungkin untuk sebagian orang ini berlebihan. Namun saya menganggapnya ini bentuk kesadaran dan penyerahan apa pun yang kita lakukan semua dari-Nya untuk-Nya. Dan hanya mengharap rida-Nya.


Canberra, Capital Australia, 10/04/23