Terlihat tumpukan uang
kertas dari berbagai negara di salah satu pojok dinding ruangan Bakery Meals
Café di Talkeenta, Alaska. Uang itu sengaja ditempel dan disertakan catatan
kaki oleh para pemiliknya untuk menandai bahwa mereka pernah singgah di kafe
itu. Saya pun mencari uang rupiah yang masih tersimpan di dalam dompet, saya
temukan uang lembaran Rp5.000 dan saya tuliskan catatan beserta tanda tangan.
William yang tepat sedang duduk bersebelahan dengan saya, sontak terkaget
melihat besarnya pecahan Rp5.000.
“Wow! Bisa mendapatkan
apa dengan uang itu?” tanya William kepada saya.
Saya tersenyum sebelum
menjawab pertanyaan itu sambil di dalam hati menggerutu, beginilah nasib
negara surga, tertipu oleh uang. Malang betul masyarakat yang masih
tertipu, kadang-kadang saya pun begitu.
Saya pun menjawab, “Tak
sampai 50 cent nilai uang ini.” Dengan sedikit lantang menegaskan betapa negara
saya di bawah mata uang dollar. Uang 50 cent setara dengan Rp7.960,50. Nilainya
bahkan lebih besar dari uang lembaran Rp5.000. Jika saja uang ini 5.000 USD,
sudah bisa kita tukar dengan dua iphone 16 terbaru setara Rp79.605.000, bahkan
satu buah mobil bekas di Indonesia. Itu yang membuat William terkaget melihat
pecahan uang sebesar Rp5.000. Tak pernah ia melihat pecahan uang dengan tiga
digit nol di belakangnya, dollar us pecahan terbesar adalah $100 USD.
Pada masa Presiden
Sukarno sekitar tahun 1950-an, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika hanya
Rp3,80 per dollar Amerika Serikat. Pada tahun 1957 setelah digempur peperangan
dan konflik internal, naik mencapai Rp90. Puncaknya ketika terjadi pemberontakan
G30S PKI pada tahun 1965, nilai tukar rupiah ke dolar Amerika Serikat semakin
anjlok hingga mencapai Rp4.995, nyaris mencapai Rp5.000. Namun yang paling
menghancurkan rupiah adalah saat krisis moneter hingga terjadi kekacauan di
Jakarta di bulan Januari 1998, nilai tukar rupiah terhadap Amerika Serikat
turun hingga Rp14.800, bahkan sampai saat ini nilai tukar rupiah menjadi
Rp15.936,25 hampir menyentuh Rp16.000. Pernah menembus Rp16.475 pada Juni 2024.
Sangat menyedihkan memang. Namun, beginilah dunia, seperti ditipu oleh dollar.
“Satu hari saja bekerja
di Amerika, sudah setara dengan satu bulan gaji di Indonesia,” ujar saya kepada
William.
”Hold on, hold on,”
jawab William mencoba ingin lebih mengerti arti kata-kata yang saya ungkapkan
kepadanya.
Saya jelaskan perlahan.
Satu hari gaji di Amerika $200 USD setara dengan Rp3.184.519. Begitu juga satu
bulan gaji di Amerika rata-rata $5000 USD, setara dengan gaji di Indonesia
setahun Rp79.588.675.
“That’s crazy,”
ungkap William.
Namun tak berhenti di
situ. Saya katakan kepada William—sambil menunjukkan uang—bahwa di sana cukup
hanya selembar uang Rp5.000 sudah bisa mendapatkan breakfast di pagi hari,
minimal bubur ayam atau nasi uduk dalam bayangan saya. Jadi, untuk biaya makan
sebenarnya bisa Rp20.000-Rp50.000 per hari. Kalau diakumulasikan, 1,5 juta per
bulan.
Bahkan saya pernah
jelaskan kepada Gene Peterson , director circus performer, obrolan di mobil
saat perjalanan tour bahwa saya bisa tinggal di Indonesia tanpa menggunakan uang.
Saya jelaskan bahwa segalanya sudah ada dan gratis. Air melimpah, kayu bakar
gratis, ikan tinggal memancing di sungai atau danau, sayur-sayuran bisa menanam
atau pergi ke kebun orang untuk membantu panen, pasti akan mendapatkan imbalan
gratis. Jika tidak menanam pun banyak tumbuh liar, seperti kangkung, ubi, pohon
tangkil dan sebagainya. Ayam dan telur pun bisa berternak. Telurnya cukup untuk
dimakan sehari-hari. Di Indonesia masih banyak air bersih dan sayuran organik.
Harga sayuran dan
bumbu-bumbu di New York terbilang sangat mahal, satu ikat kangkung saja, 1 kg,
setara Rp300.000, ikan bakar satu porsi setara Rp400.000, bumbu organik dan
nonorganik harganya dua kali lipat. Contoh jahe atau lengkuas yang sudah
dikemas, di New York bisa $3 atau Rp47.000. Di daerah Driggs, Idaho, dengan
keterangan organik dibandrol harga $6 atau Rp95.000. Wah, di ”negara surga”,
kita semua bisa didapatkan dengan gratis, tumbuh liar di mana-mana, ikan bisa
dipancing di sungai-sungai, kangkung di halaman atau pekarangan rumah. Kita
pasti tahu 51 tahun lalu sudah diungkapkan dalam metafor lirik lagu Koes Plus
berjudul ”Kolam Susu” yang mengatakan tanah kita tanah surga, ”tongkat kayu dan
batu jadi tanaman”. Tak melebihi tak mengurangi, memang betul begitu adanya.
Saya saja yang kadang-kadang tertutup oleh mata uang, jadi tak melihat surganya
Indonesia. Banyak lagi jika ingin diuraikan.
Di Amerika, jika cedera
patah tulang setidaknya harus memiliki uang $10.000 - $35.000 atau setara
Rp150-500 juta. Biaya melahirkan bisa mencapai $18.000 atau setara Rp300 juta.
Pembicaraan ini terjadi di mobil saat perjalanan tour. Gene Peterson
menjelaskannya. Pecah kepala saya mendengarnya, tak sudi tinggal di negara yang
katanya hebat, semua dengan uang, uang, uang, apa hidup ini cuma ditukar dengan
uang? Saya ini manusia bukan robot yang harus kerja terus. Hidup, kan banyak
dimensinya. Belum lagi biaya pajak, air, listrik, internet, sewa atau cicilan
rumah, sekolah, mana bisa keluar dari keterjebakan uang, uang, uang. Tak
mungkin ada waktu untuk duduk nongkrong sambil minum kopi tertawa lepas seperti
di surga Indonesia.
Sepengalaman saya saat
mengalami patah tulang, 18 tahun lalu, saya dibawa ke pengobatan alternatif
hanya menghabiskan Rp40.000/malam untuk biaya kamar. Dalam dua minggu
alhamdulilah sehat walafiat. Sampai sekarang malah saya bisa menjadi juara BMX
Indonesia. Juga saat melahirkan anak, biaya di bidan di tanggung oleh BPJS
Kesehatan karena kontrak sebagai atlet di perusahaan sepeda. Gratis dan murah,
nikmat mana lagi yang didustakan. Itu semua menjadi mimpi bagi warga Amerika
bisa bebas finansial. Mimpi tertinggi mereka bukan memiliki banyak uang,
melainkan kebebasan finansial atau financial freedom.
Seperti yang diceritakan
Robert T. Kiyosaki dalam bukunya Rich Dad Poor Dad yang ditulis pada tahun 1997
dan menjadi best seller di New York setelah 25 tahun. Terjual sebanyak 32 juta
eksemplar dan sudah diterjemahkan ke dalam 51 bahasa. Ia menjelaskan banyak hal
dalam bukunya, di antaranya rumus 4 quardan yang terkenal menjelaskan ESBI.
Employee/ karyawan level pertama sebagai pekerja mendapatkan uang dengan
menunggu gaji setiap bulan. Self employee, yaitu mereka yang bekerja dengan
kemampuan diri sendiri atau bisa dibilang profesional, seperti dokter, polisi,
seperti saya yang mengandalkan kemampuan atau keahlian BMX. Lalu level ketiga,
bisnis owner, mereka yang bekerja dengan membangun sistem pada perusahaan
bekerja dengan tim, memiliki risiko dan harus memiliki pengalaman juga
kecerdasan dalam berbisnis. Level keempat ialah investor, mereka yang menyimpan
uangnya di perusahaan dan uang yang bekerja untuk mereka.
Sebenarnya, orang-orang
di Indonesia sangat mungkin bisa mendapatkan kebebasan finansial dengan mudah
karena sudah sering saya katakan bahwa tanah kita tanah surga, di sana
terhampar luas lautan, tanah subur-makmur, ilmu melimpah, berpeluang mudah
mencapai kebebasan finansial atau kebahagian. Robert T. Kiyosaki juga
menegaskan dalam bukunya tentang dimensi spiritual atau pemahaman tentang
agama. Bahagia tidak melulu dikaitkan dengan materi. Sudah banyak dijelaskan,
jika bersyukur, Tuhan akan menambah nikmat yang lain.
Di Indonesia ilmu agama
mudah didapat, negara yang berketuhanan. Untuk mencapai merdeka
finansial/kebahagiaan memang tidak semudah yang dibayangkan. Sekali lagi, yang
dimaksud bahagia bukan berkelebihan uang, melainkan tidak lagi terjebak dalam
perlombaan menumpuk uang. Itu perlu memiliki pandangan yang luas, komitmen, dan
kebijaksanaan dalam diri. Kebijaksanaan akan hadir justru dari berbagai
pengalaman tentang materi. Bisa saja kita pernah berlebih uang dan pernah tak
memiliki uang seperti kebangkrutan, setidaknya belajar dari pengalaman sendiri
dan orang lain.
Ujungnya mampu mengelola,
menyadari potensi dirinya dan lingkungan yang
mengantarkan kepada kemerdekaan finansial/kebahagiaan dan mengerti
tentang kebahagiaan. Bahagia bukan lagi terjebak dalam hal material, melainkan
bahagia yang lebih hakiki, dalam hatinya dengan penuh kebersyukuran, bisa
tinggal di tanah surga yang melimpah ruah, menyadari bahwa semua tujuan manusia
di dunia sebenarnya adalah bahagia. Untuk menyaksikan kekuasaan dan keindahan
alam semesta, Indonesialah yang tepat untuk dikatakan surga dunia. Memang masih
banyak permasalahan ini dan itu di Indonesia. Namun, jika itu bisa digeser dari
penglihatan, banyak yang akan melihat kebahagiaan.
Seperti pagi ini, saya
berikan tontonan YouTube kepada Jun Hasegawa, freestyler basket ball yang ingin
mengenal betul tentang Indonesia.
”Ekspedisi Indonesia Biru” episode 28 yang di dalamnya bercerita tentang
perburuan ikan paus di Lamalera, perburuan ikan paus yang tercatat sejak 400
tahun lalu, Kotaro Kojima, peneliti dan penulis asal Jepang yang sudah tinggal
25 tahun di sana, menyatakan bahwa pemburuan ikan paus merupakan sebagai
jaminan sosial bagi lansia dan janda juga yatim piatu. Sebegitu melimpahnya
ikan di lautan. Itu bukan suatu pemburuan, melainkan sistem penjemputan rezeki
dari alam semesta. Dengan jumlah penduduk 2.000 jiwa, ikan paus menjadi bahan
pangan, jaminan sosial, dan alat tukar di pasar. Di sana masih ada pasar barter
antara pelaut dan petani. Mereka bisa saling tukar makanan untuk memenuhi
kebutuhan kehidupan keluarga.
Ekosistem lautan dan
populasi ikan paus tak akan hancur jika hanya untuk memenuhi kebutuhan saja,
bukan untuk memenuhi kekayaan. Sama seperti pertanian, jika bukan industri maka
akan cukup. Seperti di suku Baduy Banten, di lumbung padi mereka, masih
menyimpan padi dari 100 tahun lalu, padahal mereka hanya melakukan panen satu kali
dalam satu tahun. Berbeda dengan sistem pertanian perkotaan. Tiga kali panen
dalam satu tahun, tapi masih saja kekurangan karena tuntutan ekonomi.
Sepertinya yang harus mendapatkan peringkat negara paling berbahagia adalah
Indonesia dengan letak geografisnya dan kekayaan alamnya yang tak pernah habis
walaupun banyak dicuri dan dimanipulasi. Kekayaan budaya dan nilai-nilai agama
juga membuat masyarakatnya tenteram dan gotong royong. Tak ada alasan untuk tak
bahagia, selain tertutupnya mata hati oleh materi.
Driggs, Idaho, 26
November 2024
_______
Heru Anwari, BMX Freestyler Indonesia. Berkeliling ke berbagai negara bersama sepeda.
Instagram: @heruanwari